Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Rabu, 27 Juli 2016

Jalan-Jalan ke Bromo : a Piece of Heaven on Earth

Nama Gunung Bromo berasal dari bahasa Sanskerta Brahma, salah seorang dewa utama dalam agama Hindu. Gunung berapi aktif di Provinsi Jawa Timur ini memiliki puncak setinggi 2329 m dari permukaan laut. Gunung yang berada dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini secara geografis berada dalam 4 wilayah kabupaten : Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. 
Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau Lautan Pasir (segara wedi) seluas sekitar 10 km persegi. Terdapat setidaknya 4 puncak yang membentuk kompleks Kaldera Tengger di Lautan Pasir ini yaitu Gunung Bromo, Batok (2440 m), Kursi (2581 m), dan Widodaren (2614 m).
Kawah Bromo berukuran ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Erupsi Bromo berupa kepulan asap yang naik ke langit, berbeda dengan erupsi Gunung Merapi misalnya yang tampak bergulung-gulung turun dan terkenal dengan sebutan wedhus gembel. Menurut informasi yang kami peroleh dari warga setempat, fenomena ini akibat bentuk kawah Bromo yang agak dalam (cekung) dengan permukaan kawah cukup luas sehingga erupsinya cukup bebas naik ke langit. Sementara kawah Merapi cukup dekat dengan puncak tertingginya, dan lubang kepundannya cukup sempit. 
Anggrek latex vas partisi, detil klik di sini...
Setidaknya terdapat 2 pilihan jika kita hendak pergi menikmati keindahan matahari terbit di Bromo : mengendarai sepeda motor hingga tiba di Lautan Pasir, atau mengendarai mobil. Namun perlu diingat bahwa mobil pribadi tidak bisa naik ke Lautan Pasir. Hanya jip hardtop yang bisa mencapainya. Menjelang tiba di puncak, pengendara mobil pribadi tetap harus pindah ke jip hardtop. 
Kami start dari pick point di Kota Batu (Malang) pada sekitar pukul 23:30 dengan mobil minibus tour company. Kapasitas 1 rombongan tour adalah max 6 orang (ketika itu kami berlima). Rute yang dipilih adalah via Probolinggo (pintu utara Bromo) yang reatif paling landai dan nyaman untuk perjalanan keluarga. Sekitar pukul 3 dinihari minibus kami tiba di lokasi transit di Sukapura. Selain kami, ada 1 minibus lain dari tour company yang sama yang sudah tiba di sana.
Di lokasi transit ini banyak pedagang menawarkan topi rajut, sarung tangan, dan syal sebagai persiapan untuk naik ke Penanjakan yang pada dini hari terkadang bertemperatur serendah 5 derajat C. Harga dagangan mereka reasonable lah, tidak mahal juga sebenarnya. Kami sebenarnya sudah membawa jaket, topi, kaus kaki, dan masker. tetapi karena khawatir anak-anak masih kedinginan, kami membeli topi rajut dan sarung tangan tambahan untuk mereka.
Di sana kami pindah ke jip untuk menuju Cemoro Lawang, lalu terus ke lokasi sunrise view di Penanjakan. Total 2 jip dari tour company kami beriringan menuju puncak. Terasa bahwa Jl. Raya Bromo makin ke puncak makin berkelok-kelok dengan tanjakan yang sesekali cukup ekstrim. Aspalnya pun dari yang mulus menjadi agak kasar, dengan row jalan yang relatif tidak lebar. Mesti ekstra hati-hati berkendara di sini. Apalagi di dalam jip yang suspensinya tentu tidak seempuk minibus dan posisi duduk berhadapan (seperti angkot), kita mesti berpegangan cukup erat juga di dalamnya karena supir harus melaju cukup kencang agar jip kuat mendaki.
Jip kami sempat memasuki kabut tebal di sekitar Lautan Pasir, jarak pandang hanya sekitar 2 m. Mesti ekstra hati-hati berkendara di sini. Untungnya supir jip di sini semuanya sudah mengenal medan. Begitu pun supir kami sempat kehilangan arah sehingga harus mengamati keadaan sekitar, sebelum akhirnya kembali berhasil menemukan rute naik ke puncak Penanjakan.
Tapi menurut supir jip kami kondisi ini justru bagus karena kabut hanya akan berada di sekitar Lautan Pasir, sedangkan di puncak Penanjakan akan bersih, bebas dari kabut. Puncak Bromo pun tidak akan tertutup kabut. Kami ketika itu hanya mengiyakan karena belum sepenuhnya paham apa yang dimaksudkannya.
Jip yang kami tumpangi tak bisa terus ke puncak Penanjakan karena rupanya sudah banyak jip lain yang tiba dan parkir di sepanjang jalan ke puncak. Saat itu, sekitar pukul 4:15, masih gelap gulita, kami tiba dan parkir sekitar 100 m dari puncak. Yah, hitung-hitung sambil gerak badan ke atas... lumayan untuk mengurangi rasa dingin yang menembus tulang. Benar, ternyata di Penanjakan udaranya super duper teramat sangat dingin sekali!!! Nggak nyesel tadi beli perlengkapan ekstra buat anak-anak. Di sini tersedia mushalla, kami shalat subuh dulu sebelum menunggu sunrise, berjamaah bersama beberapa pengunjung lain. Wudhu dengan air sedingin es di sini benar-benar sesuatu sekali!!!

Gapura Penanjakan View Point, beberapa pedagang menjual edelweiss di sini (kiri); pandangan ke arah Kaldera Tengger (timur) dari pelataran utama di Penanjakan (kanan). Dua foto ini kami ambil setelah sunrise berlalu (langit sudah terang), kami tengah akan menuju ke jip kembali.

Karena pelataran utama Penanjakan ternyata cukup penuh pengunjung, driver jip kami yang melihat kami membawa anak-anak menyarankan agar kami memburu sunrise di depan sebuah bangunan mirip joglo kecil yg rupanya difungsikan pula sebagai mushalla yang terletak tepat di bawah pelataran utama. Di sini tidak seramai pelataran utama, dan view-nya pun kami bandingkan hampir sama dengan view dari pelataran utama.
Langit yang tadinya gelap gulita perlahan mulai menampakkan titik kemerahan cahaya matahari pertama. Agak lama juga menunggu hingga cahaya matahari mampu menerangi Kaldera Tengger, sedikit di sebelah kanan titik terbitnya matahari.
Meski sudah berjaket tapi dinginnya udara tetap terasa. Apalagi saat harus melepas sarung tangan untuk mengambil foto. Menunggu di atas lantai joglo juga bukan pilihan yang baik karena lantai joglo itu justru terasa amat dingin di kulit telapak kaki. Kaus kaki yang dipakai nyaris tak berguna menghalangi beku. Paling pas memang menunggu matahari beringsut naik sambil berdiri saja di depan joglo...

 Puncak Gunung Arjuna tampak menyembul di atas lautan kabut jika kita mengarahkan pandangan ke barat dari puncak Penanjakan (kiri); enaknya ngemil jagung bakar hangat untuk mengusir beku, banyak penjual jagung bakar di sini (dekat Cafe Baladewe). Tampak di latar belakang Cafe Baladewe, kita bisa masuk ke jalan setapak di sebelah kanannya, agak menurun dan berbelok ke kiri. View ke Bromo dari sini kami nilai jutsru lebih bagus dibanding dari pelataran utama Penanjakan, dan tampaknya belum banyak pengunjung yang tahu. Supir jip kami yang memberitahu tempat ini kepada kami (kanan).

 View dari jalan setapak di samping Cafe Baladewe memperlihatkan kawah Bromo secara lebih bebas, tidak terhalangi oleh Gunung Batok di depannya.... masyaAllah, a piece of heaven on Earth!

Di sinilah kami baru paham maksud supir jip kami tentang posisi kabut yang berada di Lautan Pasir. Tampak dari dua foto di atas bahwa kabut tebal yang kami tembus sebelum naik ke puncak Penanjakan benar-benar sempurna menyelimuti Lautan Pasir, menyembunyikan kaki-kaki Gunung Batok, Bromo, dan lainnya. Kabut itu tampak bagaikan 'danau', bergerak perlahan tertiup angin seperti air. Belakangan kami membandingkan foto-foto Bromo di website, sebagian mirip foto yang kami ambil di atas dengan selimut kabut tebal, sebagian lagi memperlihatkan Lautan Pasir dan bagian kaki gunung ketika tak ada kabut tebal di sana. Sementara bagian puncak gunung dan langit tampak cerah, bersih dari awan. Asap erupsi Bromo tampak mengepul naik, sebelum akhirnya berbelok tertiup angin ke arah barat.
Supir jip kami berkata bahwa kami cukup beruntung mendapatkan pemandangan selimut kabut seperti ini karena banyak pengunjung yang memang mengharapkan pemandangan serupa ternyata tidak memperolehnya. Bisa jadi karena hujan, atau jika kabut ternyata berada lebih tinggi di puncak Penanjakan sehingga kita tidak memperoleh view bebas ke arah kawah Bromo. Pengunjung yang datang tepat sehari sebelum kami menurut supir jip kami misalnya, harus agak kecewa karena kemarin ternyata turun hujan yang cukup lebat sehingga mereka tidak mendapatkan sunrise yang bagus. Masih menurutnya, Bromo memang unik karena view sunrise-nya tak akan pernah sama dari hari ke hari...
Kami berdiam cukup lama di tempat ini. Anak-anak menghabiskan jagung bakar mereka, sementara kami dan suami berfoto-foto. Sebenarnya tak ada kata puas menikmati lukisan Allah di depan mata ini, namun kami harus pindah ke lokasi lain. Untungnya supir jip kami sangat sabar, komunikatif, dan rajin memberikan informasi seputar Bromo. Dia berulang kali berkata tidak masalah jika kami ingin berlama-lama karena mungkin entah baru berapa lama lagi kami akan kembali ke sini. Tour ini seharusnya dijalani dengan santai dan memuaskan hati...

Turun dari puncak Penanjakan ke tempat jip kami diparkir. Tampak barisan hardtop parkir di sepanjang tepi jalan, inilah yang membuat jip kami tak bisa terus naik ke puncak. Pada peak season jip kadang harus parkir cukup jauh (lebih dari 500 m) dari puncak Penanjakan. Kita bisa mengenali mana jip kita dengan menghapal nomor polisinya, atau melihat kertas bertuliskan nama kita yang biasanya ditempelkan di kaca depan jip. Beberapa supir jip kami lihat tidak mengantar tamunya ke Penanjakan, mereka duduk-duduk saja di dalam jipnya masing-masing. Untungnya supir jip kami mau mengantar kami ke atas sekaligus menjadi tour guide, karena supir minibus dari tour company kami hanya menunggu di lokasi transit di Sukapura.

Lokasi berikutnya adalah Lautan Pasir atau kawah Bromo. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk turun dari puncak Penanjakan ke lokasi parkir jip di tepi Lautan Pasir. Kami melewati Bukit Kingkong dan Bukit Cinta, 2 view point ke arah kawah Bromo yang bisa dijadikan lokasi foto-foto alternatif.

Lokasi parkir jip di Lautan Pasir masih tertutup kabut tebal saat kami tiba di sana, yang tampak dari atas seperti 'danau' (kiri); setelah sarapan mie hangat dan gorengan di salah satu warung yang ada di sana kami menyewa kuda untuk memutari Lautan Pasir. Jarak pandang sangat terbatas, kami bahkan sama sekali tak dapat melihat Gunung Batok dari parkiran karena tebalnya kabut. Tampak pada foto Pura Poten yang baru terlihat setelah kita berkuda di dekatnya (kanan).
 
 Setelah agak siang barulah kabut menipis hingga akhirnya kami bisa berfoto-foto lebih leluasa, salah satunya di depan Gunung Batok ini (kiri); pandangan ke arah kawah Bromo dari parkiran (kanan)

 Pura Poten Bromo terletak sekitar 500 m arah selatan dari area parkir jip (kanan).

Kita bisa menyewa kuda atau berjalan kaki dari parkiran ke tangga naik menuju kawah Bromo. Jaraknya sekitar 1,2 km dari parkiran. Lumayan olahraga jika berjalan kaki santai ke sana karena medannya tak selalu datar seperti di Lautan Pasir, menjelang kaki gunung Bromo kita mendapati medan naik turun, salah satunya karena kita mesti melewati cekungan bekas aliran lahar dingin serta gundukan pasir menjelang tangga naik (kiri); sekitar 250 anak tangga naik ke kawah Bromo (kanan, foto dari www.ensiklopedihikmah.wordpress.com)

Pura Poten atau lengkapnya Pura Luhur Poten Gunung Bromo terletak di tengah Lautan Pasir, merupakan tempat ibadah Suku Tengger. Pura ini dibangun pada tahun 2000 dengan arsitektur campuran dari adat Bali dan Jawa. Bangunan pura terbagi menjadi 3 zone atau 3 mandala :
1. Mandala Utama : tempat pemujaan yang di dalamnya terdapat sebuah Padma.
2. Mandala Madya (tengah) : tempat persiapan dan pengiringan upacara agama.
3. Mandala Nista (depan) : ruang terbuka dengan pintu tunggal sebagai peralihan masuk ke dalam pura.

Selain sebagai tempat ibadah Suku Tengger, Pura Poten juga menjadi lokasi perayaan suku adat Bromo yaitu Festival Yadya Kasada, atau yang lebih umum disebut Upacara Kasada saja. Upacara tahunan ini diadakan pada malam purnama bulan Kasada sebagai pengingat pengorbanan Jaya Kusuma. Tampak kawah Bromo pada foto di sebelah kanan (foto dari www.indonesianparadise.net).
Cerita rakyar tentang ala-usul Upacara Kasada masyarakat Tengger ini kami sajikan di bagian bawah artikel, silakan scroll ke bawah bagi Anda yang berminat.

Sebenarnya kami hanya mengambil paket 2 spot (sunrise Penanjakan dan kawah Bromo) ke tour company. Awalnya kami tidak yakin anak-anak akan senang dengan paket tour bertema alam ini, tapi karena kami lihat mereka cukup excited, dan kebetulan jip lain dari tour company kami pun ternyata mengambil paket 4 spot (tambahannya adalah ke Savana/Bukit Teletubbies dan Pasir Berbisik), kami akhirnya memutuskan menambah 2 spot lain sekalian. Kami langsung nego saja dengan supir jip kami yang baik, yang ternyata menawarkan harga tambahan tour jauh lebih murah ketimbang sejak awal mengambil paket 4 spot ke tour company. Oke deh kalau begitu....
Butuh sekitar 30 menit berkendara hardtop melewati jalur offroad ke arah tenggara Kaldera Tengger untuk menuju Blok Savana Bromo. Daerah hijau ini ditumbuhi aneka vegetasi perdu hingga tanaman yang agak tinggi. Walaupun demikian, saat Bromo mengalami erupsi yang cukup besar, kawasan ini pernah terbakar hingga meranggas. Untungnya saat kami datang ke sana, daerah ini sedang bersemi kehijauan. Mungkin terbantu juga oleh hujan yang turun sehari sebelumnya.

Bukit-bukit hijau di kejauhan memang terlihat mirip kediaman Teletubbies sehingga orang menyebutnya Bukit Teletubbies. Matahari cukup terik, namun udara tetap dingin sehingga nyaman beraktivitas outdoor di sini. Menurut kami 30 menit sudah cukup untuk mengeksplorasi ringan kawasan ini, karena yang bisa kita lakukan di sini memang praktis hanya berfoto-foto. Berbeda dengan spot sebelumnya (kawah Bromo) dimana kita bisa menghabiskan jauh lebih banyak waktu karena memang cukup banyak kegiatan dan lokasi yang dapat diubek di sana.




Spot terakhir adalah Pasir Berbisik. Sejak di area parkir jip kami sudah dapat melihat asap putih tipis beterbangan dengan suara berdesir di atas Lautan Pasir di sebelah timur Bromo, inilah sejatinya atraksi pasir berbisik menurut supir jip kami. Ia lagi-lagi bercerita bahwa pasir basah (karena embun) di kawasan timur Bromo terpanasi matahari pagi hingga embun menguap. Dan seperti kita ketahui bersama, di kawasan pegunungan yang dingin uap air tersebut akan lekas mengembun kembali menjadi titik-titik air di udara. Persis sama dengan napas kita di pegunungan yang tampak seolah asap. Titik-titik air tersebut beterbangan tertiup angin tepat di atas permukaan Lautan Pasir... terutama jika dilihat dari kejauhan.
Sekali lagi kami cukup beruntung karena hujan yang turun kemarin membuat Lautan Pasir lebih basah daripada biasanya, sehingga asap pasir berbisik yang kami temui pagi itu cukup tebal...

Pasir Berbisik dengan latar belakang kepulan asap erupsi Bromo dan gunung Batok di kejauhan (kiri); memang tidak terlihat jelas pada foto, namun sebenarnya saat itu asap putih tipis beterbangan di sekitar kaki anak-anak (kanan)

Pigura 3D bunga matahari, detil klik di sini...
Selepas atraksi Pasir Berbisik yang unik itu, kami kembali ke lokasi transit di Sukapura. Diperlukan waktu lebih lama untuk turun ke Sukapura dibandingkan saat naik dini harinya karena aktivitas warga di jalan Raya Bromo dan sekitarnya lebih ramai pada siang hari. Jip kami tidak bisa dipacu kencang seperti saat naik. Kami tiba kembali di lokasi transit sekitar pukul 12 kurang sedikit. Minibus kami masih terparkir di tempat yang sama. Setelah beristirahat sejenak kami pun bertukar mobil kembali ke minibus, siap untuk pulang ke point of discharge pilihan kami yaitu Bandara Juanda Surabaya karena kami akan langsung pulang ke Cengkareng hari itu juga.
Diperlukan waktu sekitar 3 jam perjalanan dari Sukapura ke Juanda, via tol Porong. Kami sempat berhenti dulu di rest area tol untuk shalat dan makan siang. Tiba di Juanda sekitar pukul 3 sore. Selesailah sudah sunrise tour Bromo kami hari itu. Total durasi sekitar 15 jam, dihitung dari hampir tengah malam saat kami dijemput di Batu, hingga tiba di Juanda.

Tips jalan-jalan ke Bromo :
1. Hindari peak season atau akhir pekan, jika memungkinkan lebih nyaman bepergian pada hari kerja.
2. Waktu terbaik ke Bromo adalah pada periode Juni-Oktober karena saat itu musim kemarau di sana. Peluang untuk mendapatkan sunrise yang jelas/bersih lebih besar pada periode ini.
3. Bawa uang tunai yang cukup karena tidak ada mesin ATM di daerah ini.
4. Persiapkan 'perlengkapan tempur' untuk menghadapi udara dingin seperti jaket, topi, sarung tangan, kaus kaki, syal, dan masker. Boleh juga membawa kacamata hitam. Tour company memberikan masker gratis, tetapi tak ada salahnya sudah mempersiapkan masker sejak sebelumnya. Kami saat itu memilih mengenakan sandal gunung ketimbang sepatu dengan pertimbangan mudah dilepas-pasang namun tetap akan terpasang dengan kuat/kokoh, tidak seperti sandal jepit yang mudah terlepas saat kita berjalan menanjak.
5. Rencanakan waktu keberangkatan pesawat/kereta api setidaknya pada sore hari agar tidak terburu-buru menuju point of discharge jika Anda akan langsung pulang seperti kami saat itu. Dari pengamatan kami, pilihan penerbangan ke Cengkareng jauh lebih banyak dari Juanda ketimbang Bandara Abdul Rahman Saleh Malang, dan tour company tidak mematok harga berbeda kok antara Malang atau Surabaya.
6. Pergunakan waktu selama di dalam mobil untuk tidur/istirahat karena sunrise tour memang berlangsung pada jam tidur kita. Usahakan untuk tidur selama perjalanan dari pick point ke Sukapura, dan selama perjalanan ke point of discharge. Setidaknya total 6 jam waktu perjalanan yang bisa digunakan untuk istirahat.

Cerita Rakyat Joko Seger dan Rara Anteng, Asal Usul Masyarakat Tengger
Menurut cerita masyarakat Tengger, Rara Anteng dan Joko Seger ('Teng' dari Rara Anteng dan 'Ger' dari Joko Seger, digabungkan menjadi Tengger) merupakan leluhur mereka. Rara Anteng (seorang putri Majapahit) konon dilahirkan dalam keadaan diam/tidak menangis alias anteng, sedangkan Joko Seger (putra seorang brahmana) dilahirkan sambil menangis kencang alias segar/seger. Keduanya tumbuh menjadi pemuda-pemudi dan saling jatuh cinta.
Kecantikan Rara Anteng konon membuat seorang raksasa yang sakti mandraguna bernama Kyai Bima yang tinggal di lereng Bromo ingin melamarnya. Joko Seger tak mampu menandingi kesaktian Kyai Bima sehingga ia dan Rara Anteng menolak secara halus dengan cara mensyaratkan Kyai Bima harus mampu membuatkan sebuah danau di atas gunung Bromo dalam waktu semalam. Serupa dengan cerita Sangkuriang-Dayang Sumbi atau Roro Jonggrang-Bandung Bondowoso, Kyai Bima hampir saja mampu membuatkan danau jika tidak dikelabui oleh akal Rara Anteng yang membakar jerami di sebelah timur dan menumbuk padi di lesung sehingga Kyai Bima menyangka bahwa upayanya gagal karena hari sudah fajar. Kyai Bima marah dan membuang batok kelapa yang digunakannya untuk menggali danau. Batok kelapa itu berubah menjadi Gunung Batok, sedangkan danau besar yang digalinya menjadi kawah Bromo.

Rara Anteng kemudian menikah dengan Joko Seger, namun setelah bertahun-tahun mereka tak kunjung dikaruniai anak. Joko Seger lalu bersumpah jika ia dikaruniai 25 orang anak, salah satunya akan dikurbankan ke kawah gunung Bromo.
Setelah itu mereka benar-benar dikaruniai 25 orang anak. Mereka hidup bahagia di lereng Bromo hingga lupa akan sumpahnya. Konon dewa menegur Joko Seger akan sumpahnya lewat mimpi. Joko Seger pun teringat kembali akan sumpahnya dan menjadi gundah. Akhirnya setelah menyampaikan ihwal sumpahnya itu pada seluruh anaknya, si bungsu yang bernama Jaya Kusuma bersedia menjadi kurban agar dewa tidak menghukum seluruh keluarga mereka. 
Tepat pada malam tanggal 14 bulan Kasada konon Jaya Kusuma menceburkan diri ke dalam kawah Bromo setelah sebelumnya meminta saudara-saudaranya setiap tahun menceburkan hasil ladang ke kawah tempat Jaya Kusuma menceburkan diri. Tradisi inilah yang menjadi cikal bakal Upacara Kasada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar