Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Rabu, 27 September 2017

Mengeksplorasi Sisi Syar'i Bangkok

Meski Bangkok cukup terkenal dengan wisata malam di beberapa red light district seperti Soi Cowboys, Nana Plaza, atau Patpong, ternyata kota ini pun cukup ramah terhadap pelancong yang ingin berwisata syar'i. Kami mendapatinya di kawasan Phayathai, tepatnya di Jl. Phetchaburi yang merupakan jalan utama arah timur-barat penghubung pusat kota ke Bandara Suvarnabhum. Pada sebuah penggal jalan ini, tak jauh dari persimpangan Ratchathewi atau hanya sekitar 700m sebelah barat kantor Kedutaan Besar RI, terdapat sebuah jalan kecil yang dalam bahasa Thai disebut Phetchaburi Soi 7 (Gang 7). Soi 7 ini yang kira-kira berukuran pas dilewati 2 mobil, merupakan kantung warga muslim Bangkok yang dulu ternyata bernama Soi Surau atau Gang Surau/Masjid.

Aneka produk bambu ulir rangkai, detil klik di sini...

Berdasarkan catatan sejarah, warga muslim dari Thailand Selatan mulai bermukim di Distrik Thungphayathai ini - tepatnya Soi Surau atau Soi 7 - sejak masa awal pemerintahan periode Kerajaan Rattanakosin pada tahun 1882. Komunitas warga muslim ini hidup berdampingan dengan penduduk Bangkok yang mayoritas Budha dengan damai. Dan sebagai penganut Islam, komunitas ini tentu membutuhkan sebuah masjid kecil sebagai pusat aktivitas ibadah dan kehidupan sehari-hari yang diberi nama Darul Aman, atau Tempat yang Aman.

Foto di atas (sumber : streetview googlemaps) memperlihatkan suasana mulut Soi 7. Masjid Darul Aman kurang lebih berada di sebelah kanan pengendara motor berjaket hitam yang menuju arah menjauhi kita. Meja-meja street food tampak di sebelah kiri foto. Pada siang hari tak banyak pedagang makanan jalanan yang berjualan di sini. Tetapi pada malam hari kawasan ini sangat hidup dengan pedagang makanan jalanan yang alhamdulillah-nya mayoritas adalah makanan halal.

Konstruksi asli Masjid Darul Aman mengadopsi desain rumah Thai tradisional yang disebut 'panya'. Seiring dengan pertambahan jumlah warga muslim di daerah ini, masjid kemudian direnovasi dan diperluas hingga mencapai bentuknya sekarang ini yang mampu menampung hingga 1000 jamaah. Selain digunakan sebagai masjid jami' oleh warga setempat, ternyata kami menjumpai banyak pula warga Indonesia yang melaksanakan shalat di sini, baik bersifat sesekali karena memang pas lewat di daerah ini, atau memang sudah sekian lama bermukim di Bangkok - seperti staff Kedutaan RI yang kami jumpai di sana - dan istiqamah menjadi jamaah Darul Aman.

Bagian depan sekaligus papan nama Masjid Darul Aman tampak pada foto di sebelah kiri bawah. Sedangkan plang masjid di mulut Soi 7 diperlihatkan oleh foto kanan bawah. Tampak plang masjid di bawah tiang dan jalinan kabel-kabel ruwet khas Bangkok.

Sementara pandangan bangunan masjid dan lingkungan sekitarnya terlihat pada foto di bawah yang kami ambil dari lantai 9 Hotel Bangkok City di seberang Soi 7. Masjid berlantai 2 ini cukup besar untuk ukuran Bangkok, kota di mana muslim merupakan minoritas. Kubah bercat emas tampak di bagian depan (barat) masjid, dan pada puncak menara masjid yang terletak di sebelah timur bangunan.

Memasuki halaman masjid, tersedia area parkir yang tak seberapa luas untuk sepeda dan motor (foto kiri bawah). Kita masuk ke dalam masjid via pintu teralis besi besar bercat keemasan yang tampak terbuka itu. Ruang shalat utama full AC terletak di bagian depan, sementara ruang/hall yang lebih luas tanpa AC berada di bagian belakang (foto kanan bawah).

Jika kita masuk dari sisi utara bangunan, kita akan diarahkan ke tempat wudhu (foto sebelah kanan). Sama saja dari sini pun kita bisa masuk ke ruang shalat utama atau hall luas tersebut.
Dari pengamatan kami ketika berkesempatan menunaikan shalat subuh, maghrib, dan isya di Darul Aman, alhamdulillah jumlah jamaah di masjid ini selalu terbilang cukup banyak untuk ukuran Bangkok... 4 atau 5 shaf kira-kira untuk shalat subuh dan isya, dan agak lebih sedikit untuk shalat maghrib, mungkin karena terbentur jam pulang kerja. Waktu shalat zuhur dan ashar kami tidak tahu karena memang tak berkesempatan mengalaminya secara langsung.
Jeda waktu antara adzan dan iqamat subuh sekitar 20 menit atau bahkan lebih. Cukup panjang untuk melaksanakan shalat sunnah dan ibadah lain, serta tentunya memberi waktu jamaah berdatangan seperti diperlihatkan oleh foto di bawah. Mengingat bahwa secara fisik memang tidak ada perbedaan antara bangsa-bangsa Asia Tenggara, maka kami merasa seperti sedang berada di masjid perumahan saja ketika itu.


Warga muslim Soi 7 memiliki akar dari Pattani, Yala, dan daerah-daerah lain di Thailand selatan. Komunikasi kami dengan saudara-saudara kita ini tentunya dapat dilakukan dalam bahasa Melayu. Bahasa Inggris nyaris tidak laku di sini. Penduduk setempat sangat suka bercakap-cakap hangat dengan para tamu dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang memang sangat banyak datang ke kawasan ini.
Selain dikunjungi karena keberadaan Masjid Darul Aman, daerah Soi 7 ini juga ramai didatangi wisatawan muslim untuk mencari makanan halal. Salah satu warung makan terdekat dari Darul Aman adalah Warung Ali Selatan (foto sebelah kanan) yang hanya berjarak sekitar 50 m ke utara masjid. Pak Ali menyediakan menu-menu khas melayu yang sama cita rasanya dengan hidangan di Indonesia. Ketika itu kami datang bertiga, memesan masing-masing sepiring nasi dengan lauk utama ayam/ikan dan minuman es teh manis/es jeruk. Total harga tak sampai 200 Baht (sekitar Rp. 60.000-an). 
Di sepanjang Jl. Phetchaburi, tepatnya di sekitar mulut Soi 7, bertebaran rumah makan halal lain. Salah satu yang sempat kami kunjungi adalah M-House (foto di bawah). Menariknya, M-House juga ternyata menyediakan penginapan murah meriah/hostel namun cukup aman yang berdasarkan pengamatan kami ternyata diminati juga oleh para pelancong backpacker asal Indonesia yang bersama-sama kami sedang makan malam juga di sini. Backpacker tampaknya akan menyukai tipe kamar asrama, kapasitas 3 ranjang susun atau 6 orang per kamar (khusus kamar pria atau wanita, tidak bisa campur) dengan kamar mandi di luar/share yang dijual mulai Rp. 140.000-an per orang.

M-House pun menyediakan menu melayu selain masakan Thai. Ketika itu kami memesan semacam martabak telur yang disajikan di atas hot plate, dan ice Thai tea (foto kiri bawah). Harga menu di sini pun tergolong murah. Tampak suasana bagian dalam M-House yang full Wi-Fi ini, dengan meja sebelah yang terlihat dipakai oleh rekan backpacker asal Indonesia yang kami singgung di atas (foto kanan bawah).

Selain di seputaran Phetchaburi, makanan halal cukup mudah dijumpai pula di mall Mah Boon Khrong (MBK), Siam. Salah satu restoran halal yang menjadi favorit kami beberapa tahun belakangan adalah Yana Restaurant @ MBK yang menyajikan menu makanan Thai dan internasional (foto sebelah kanan). 
Resto halal yang berada di lantai 5 MBK, tepat di seberang pujasera 'Food on Fifth' ini bersih, menunya lezat, dan harganya pun relatif rasional meski tentunya lebih mahal dibanding M'House, apalagi Warung Ali Selatan. Setiap menu di sini rata-rata harganya 60-100 Baht.
Meski beda lokasi dan rentang harga dengan Ali Selatan, di Yana pun kita tetap bisa nyaman berbahasa melayu dengan staf restoran. Mereka mengaku berasal dari Narathiwat, Thailand selatan. Masih terhitung tetangga dekat dengan daerah Pattani dan Yala, asal Pak Ali Selatan...

Resto Yana memiliki daya tampung pengunjung cukup banyak seperti yang ditunjukkan oleh foto di atas.
Pada saat buka puasa Ramadhan cukup sulit untuk mendapatkan tempat di sini karena Yana sudah menjadi tujuan warga muslim Bangkok maupun pelancong dari luar negeri untuk berbuka.
Kami mendapat informasi bahwa sesekali ada saja tamu yang membayari harga makanan buka puasa seluruh pengunjung Yana yang ketika itu sedang melaksanakan shaum. Tujuannya tentu untuk memperoleh keutamaan memberi makan orang yang berbuka puasa, in sya Allah...
Mengenai hidangan di Yana, favorit kami tak lain adalah tom yum - baik versi dengan santan seperti foto di atas, atau tanpa santan - sama-sama unik dan maknyus. Sedangkan ice Thai tea tetap menjadi salah satu pilihan minuman yang kami rekomendasikan di sini.

Ketika itu kami menginap di Bangkok City Hotel yang berlokasi dekat Phetchaburi Soi 7. Hotel berdesain minimalis dengan rate sekitar Rp. 450.000/hari ini bersebelahan dengan Hotel Samran Place.
Pelayanan dan kualitas hotel ini secara keseluruhan masih OK-lah, meskipun tidak juga tergolong terlalu istimewa.
Lorong-lorong di hotel ini terkesan agak gelap, mungkin menjadi masalah bagi sebagian orang meskipun bagi kami masih dalam batas toleransi. Kolam renang cukup OK dan bersih, namun sayang jam operasional kolam cukup terbatas. Tamu yang baru kembali ke hotel pada malam hari tak akan mendapat kesempatan menjajal kolam renang...
Foto bangunan hotel pada waktu setelah shalat subuh tampak pada foto kiri bawah. Sementara pemandangan malam hari ke arah jembatan layang Ratchathewi yang masih sibuk dari jendela hotel diperlihatkan oleh foto di kanan bawah.

Jika kita hendak menuju Masjid Darul Aman, kita mesti menyeberangi Jl. Phetchaburi via JPO yang berada di depan gerai Seven Eleven di sebelah kiri hotel. Hanya butuh tak sampai 10 menit jalan kaki santai... tak jauh memang. Sepulang dari masjid, dari atas JPO kami sempat memotret suasana jalan raya yang mulai ramai meski matahari belum sepenuhnya terbit (foto di bawah).

Satu hal yang cukup menarik yang kami sadari sejak pertama kali masuk ke kamar adalah bahwa kami memiliki tetangga keluarga merpati yang bersarang di langkan luar jendela kamar kami (foto di sebelah kiri).
Keluarga merpati ini tampak tak terpengaruh oleh hiruk-pikuk kendaraan di jalan raya di bawah sana. Meski sangat padat, kondisi kemacetan di Bangkok relatif tak separah di Jakarta. Kemacetan tentunya ada, tetapi relatif lebih cepat terurai.
Hal ini tercapai kemungkinan karena sudah aktifnya jaringan transportasi publik berupa MRT/skytrain sejak beberapa tahun lalu yang cukup efektif mengurangi minat warga Bangkok untuk membawa kendaraan sendiri. Mudah-mudahan pembangunan masif jaringan transportasi publik belakangan ini di Jakarta pun akan efektif dalam mengurai benang kusut kemacetan ibukota belakangan ini.

Kondisi kamar hotel ini minimalis namun fungsional sebagaimana layaknya hotel bisnis. Koneksi internet lancar dan cepat. Tersedia bath tub di kamar mandi. Sedikit masalah mungkin timbul saat sarapan pagi, mengingat area restoran hotel ini terbilang sempit dengan daya tampung tamu cukup terbatas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar