Handicraft Center kok judulnya 'Pondok Dahar Lauk Jogja'? Mmmm... nama memang tidak perlu literally nyambung, kan? Bisa karena kami memang berasal dari Jogja, bisa juga karena memang pusat hobi kami ini dirintis dari rumah makan mungil kami, Pondok Dahar Lauk Jogja (back to 2011)...
However, pusat hobi kami ini berkarya dalam aneka handicraft
Jogja seperti bambu ulir cendani, vas & meja set gerabah Kasongan, vas kayu minimalis, serta rupa-rupa handicraft yang tak mesti berlabel 'Jogja' semisal bunga rangkai aneka jenis, ranting hias, lukisan bunga, pigura 3D, serta buah & pohon topiary artificial.
Pokoknya Jogja and Florist Enthusiast untuk Anda yang berkediaman di Bekasi dan sekitarnya...

Untuk navigasi cepat ke 'KATALOG UPDATE TERAKHIR' kami, klik di sini...

header gambar laukkita

Hot Items

HOT ITEMS :
* Handicraft Bambu Ulir : Bambu Ulir Cendani Aneka Model
* Handicraft Vas Gerabah : Vas Gerabah Aneka Model
* Handicraft Ranting Hias : Ranting Inul Aneka Model

Senin, 24 Juli 2017

Masjid Agung Semarang (Kauman), Pasar Semawis, dan Masjid Agung Jawa Tengah

A. Masjid Agung Semarang
Rumah Allah yang biasa pula disebut Masjid Kauman ini ternyata memiliki sejarah yang panjang dengan statusnya sebagai masjid tertua di Kota Lunpia. Masjid Kauman telah menjadi kebanggaan warga Semarang, sekaligus cagar budaya yang harus dilindungi. Rumah Allah ini memiliki arsitektur bangunan yang khas dengan ciri masyarakat pesisir yang terkenal lugas namun bersahaja.
Aneka produk partisi ruangan, detil klik di sini...
Serupa dengan masjid-masjid kuno lainnya di Jawa, Masjid Kauman dibangun di pusat kota (alun-alun), berdekatan dengan pusat pemerintahan (kanjengan), penjara, serta pusat perdagangan (Pasar Johar). Hal ini mencerminkan tata kota khas nusantara jaman dulu.
Masjid Kauman tercatat sebagai satu-satunya masjid di Republik Indonesia yang berani mengumumkan kemerdekaan bangsa Indonesia kepada publik hanya beberapa saat setelah diproklamasikan di Jakarta pada pukul 10 pagi. Pada 17 Agustus 1945 sebelum didirikannya shalat Jumat, dr. Agus rahimahullah, salah seorang jamaah aktif Masjid Kauman melalui mimbar Jumat mengumumkan bahwa proklamasi kemerdekaan RI telah terjadi.
Mungkin banyak yang heran membaca alinea di atas tentang lokasi Masjid Kauman di depan alun-alun. Lho, mana alun-alunnya? Ya, alun-alun Semarang memang telah beralih fungsi sejak tahun 1938 menjadi Kawasan Komersial Johar, yaitu dengan berdirinya Pasar Yaik, lalu belakangan gedung BPD dan Hotel Metro menempati lapangan alun-alun Semarang. Akibatnya sejak saat itu Masjid Kauman menjadi seolah terjepit di tengah bangunan tinggi yang mengepungnya. Namun demikian, keagungan masjid agung ini tak akan pernah luntur.
Informasi tahun didirikannya Masjid Kauman terpatri pada sekeping batu marmer yang sampai saat ini masih terpasang di tembok bagian dalam gerbang masuk masjid. Prasasti ini berangka tahun 1170 H (1749 M), tentang peresmian masjid oleh Kanjeng Kyai Adipati Surahadimanggala yang disaksikan oleh Gubernur Belanda saat itu, Nicolaas Hartingh. Nicolaas Hartingh sendiri kemudian menjadi aktor utama terjadinya Perjanjian Giyanti (1755) yang memecah-belah Kesultanan Mataram menjadi Ngayogyokarto Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta.
Berdasarkan catatan sejarah dan tutur cerita masyarakat yang kami sarikan dari beberapa sumber di website, cikal bakal Masjid Kauman ini telah dibangun pada masa Kesultanan Demak (pertengahan abad ke-16) oleh Maulana bin Abdussalam, seorang berdarah Arab yang mendapat perintah dari Sunan Kalijaga untuk melakukan penyebaran agama Islam di kawasan sebelah barat Demak. Maulana bin Abdussalam kemudian bersama para pengikutnya membuka hutan di suatu tempat di barat Demak yang bernama Pulau Tirangan. Tempat itu ditandai oleh pohon-pohon asam yang tumbuhnya jarang, yang oleh lidah lokal disebut 'Asem Arang'. Inilah yang konon menjadi asal usul nama 'Semarang'.  

Aneka produk bambu ulir, detil klik di sini...
Maulana bin Abdussalam pertama-tama mendirikan sebuah masjid di hutan yang baru dibukanya. Lokasi masjid ini sebenarnya berada di Semarang Selatan (saat ini kurang lebih masuk kawasan Mugas). Sebagai pendiri pemukiman dan pemuka agama Islam, Maulana bin Abdussalam memiliki gelar Ki Ageng Pandan Arang. Perkembangan pemukiman 'Semarang' yang bermula dari didirikannya masjid sederhana ini ternyata kian pesat. Perkembangan ini membuat Pandan Arang diangkat menjadi Bupati Semarang yang pertama pada 12 Rabiulawal 954 H (2 Mei 1547 M). Tanggal tersebut secara tradisional diperingati sebagai hari berdirinya Kota Semarang.
Setelah sempat beberapa kali berpindah lokasi, masjid peninggalan Maulana bin Abdussalam sebagai pusat peribadatan dan pemerintahan di Semarang ini akhirnya menempati lokasinya saat ini, yaitu di Masjid Kauman.
Masjid Kauman (sumber foto : www.visitcentraljava.com)
Arsitektur Masjid Kauman yang berbentuk tajuk tumpang tiga tingkat mirip dengan gaya Masjid Agung Demak, menandakan pengaruh kuat dari desain bangunan masa Kesultanan Demak dan walisongo, periode ketika cikal bakal Masjid Kauman dibangun oleh Maulana bin Abdussalam.
Atap tingkat tiga merupakan representasi dari filosofi Iman, Islam, dan Ikhsan.
Wujud masjid asli seperti yang diresmikan oleh Adipati Surahadimanggala kini sulit dikenali karena telah tertutup oleh bangunan masjid baru hasil renovasi yang dilakukan belakangan (ditunjukkan oleh foto di sebelah kanan).
Gerbang masuk berbentuk gapura (dari arah Jl. Alun-Alun Barat) serta sebuah menara yang walaupun memang fungsional dan dibutuhkan, namun tetap saja menghalangi penampakan asli masjid yang kini berbalut cat warna hijau muda.

Sebuah gerbang yang lebih kecil terdapat di samping (selatan) masjid, yaitu dari arah Jl. Kauman (ditunjukkan oleh foto di sebelah kiri). Akses dari Jl. Kauman ini menghubungkan masjid dengan Jl. Wahid Hasyim dan pusat jajanan Semawis yang belakangan populer. Secara keseluruhan, kompleks masjid dibatasi oleh pagar dari tembok dan besi baja.
Meski arsitektur Masjid Kauman secara umum mirip dengan Masjid Agung Demak, namun konstruksi keduanya jauh berbeda. Atap limasan Masjid Demak disangga oleh hanya 4 soko guru (tiang utama) yang merupakan desain khas nusantara.
Sedangkan atap limasan Masjid Kauman ditopang oleh 36 pilar yang merupakan ciri arsitektur bangunan yang lebih modern. Bentuk atap limasan Masjid Kauman juga telah memiliki hiasan bentuk mustaka, sementara langkan pintunya berbentuk rangkaian daun waru sebagai indikasi akulturasi langgam Persia atau Arab.

Memasuki masjid via barisan pintu berbahan kayu jati bermotif pahatan kotak-kotak minimalis, suasana langsung terasa adem, nyesss... berbeda dengan udara di luar yang cenderung panas khas kota-kota pantura. Lantai marmer menambah rasa sejuk di kaki. Mihrab dengan desain serba meruncing di bagian depan memiliki langit-langit tinggi dari beton. Mimbar imam terbuat dari kayu jati berornamen ukir rumit lagi indah.
Satu hal yang agak menyulitkan kita untuk datang dan beribadah di Masjid Kauman Semarang ini adalah lokasinya yang terjepit oleh bangunan lain dan kesibukan aktivitas perniagaan Kawasan Johar. Sepeda motor mungkin tidak terlalu masalah, tetapi jamaah dengan mobil bisa jadi agak sulit. Akses utama adalah via Jl. Alun-Alun Barat dari arah Jl. Agus Salim atau Jl. Pemuda. Jl. Alun-Alun Barat yang tidak terlalu lebar ini sudah cukup crowded oleh kegiatan bisnis, pedagang kaki lima, serta parkir kendaraan Pertokoan Johar dan Pasar Yaik. Berjalan perlahan perlahan saja di sini. Hanya tersedia ruang untuk sekitar 20 mobil di depan Masjid Kauman. Jika penuh, kita bisa belok kanan ke Jl. Kauman di sisi selatan masjid. Di sini tersedia ruang parkir paralel untuk sekitar 8 mobil. Jika masih penuh juga, maka kita harus mencari tempat lebih jauh di sepanjang Jl. Kauman.
Namun tentunya sedikit kesulitan di atas tidak menjadi penghalang, karena in sya Allah pahala yang diperoleh akan bertambah pula seiring dengan kesukaran yang menghadang langkah kita...

B. Semawis
Sekitar 300 m ke arah tenggara Masjid Kauman, tepatnya di Jl. Gang Warung, Kranggan, terdapat Kawasan Pecinan Semarang yang setiap Jumat, Sabtu, dan Ahad malam (18.00 - 23.00 WIB) disulap menjadi Pasar Semawis yang menjajakan aneka hidangan dengan harga terjangkau.
Semawis adalah pasar malam yang awalnya digagas oleh perkumpulan Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata). Menyusul momen ditetapkannya Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional, pada 2004 diadakanlah Pasar Imlek Semawis di lokasi ini. Mulai 2005 Pasar Semawis menerapkan format pasar malam akhir pekan outdoor hingga saat ini.

Pada pagi hari, daerah ini sama saja dengan yang lain. Mulut Jl. Gang Warung yang ditandai oleh gerbang khas pecinan digunakan oleh bakul-bakul sayuran untuk berdagang. Sama sekali tak terlihat adanya geliat pusat kuliner di sana (foto di atas).

Tenda kios-kios jajanan pun tampak sepi pada pagi hari, berjejer di kiri-kanan jalan. Hanya tulisan 'Waroeng Semawis' dan 'Pusat Jajan Semarangan' yang menandakan bahwa inilah Semawis (foto sebelah kanan).
Namun saat Pasar Semawis buka kira-kira setelah maghrib, suasana berubah menjadi meriah.
Pasar Semawis yang tercatat sebagai pusat kuliner terpanjang di Kota Lunpia ini menjajakan aneka hidangan seperti nasi pela, nasi gudeg, nasi pindang, babat gongso, bakmi jowo, aneka hidangan oriental khas Gang Warung, es marem, pisang plenet, soto, aneka bubur, sate, ayam goreng, es puter, serabi, hingga menu-menu steamboat yang menarik untuk dicicipi. Bagi kaum muslimin kami sarankan untuk memastikan kehalalan menu hidangan saat memesan pada penjualnya. Cukup banyak menu yang halal tersedia di sini.
Akses menuju Semawis cukup banyak. Kita bisa memilih masuk lewat Jl. Wotgandul Barat ke Jl. Plampitan; atau lewat Jl. Gajah Mada ke Jl. Wahid Hasyim dan parkir di Jl. Beteng. Jalur lain adalah lewat Pasar Johar/Jurnatan via Jl. Pekojan dan pakir di Gang Pinggir.
Saat Pasar Semawis digelar, beberapa jalan di kawasan pecinan akan ditutup salah satu ujungnya, yaitu Gang Besen, Gang Tengah, Gang Gambiran, Gang Belakang, dan Gang Baru. Jalan-jalan itu dapat digunakan untuk parkir kendaraan pengunjung.

Suasana malam hari yang ramai di Pasar Semawis (sumber foto : www.5berita.com dan www.lihat.co.id)

C. Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT)
MAJT dilihat dari pelataran masjid
Jika Masjid Kauman adalah masjid agung untuk level Kota Semarang, maka MAJT adalah masjid agung bagi level Provinsi Jawa Tengah, meskipun MAJT juga berlokasi di Kota Semarang.
Namun demikian keberadaan MAJT tak bisa dilepaskan dari Masjid Kauman mengingat pembangunannya berawal dari kembalinya tanah wakaf milik Masjid Kauman yang telah berhasil diinventarisasi ulang oleh pemerintah daerah setempat.
MAJT dibangun di atas salah satu petak lahan wakaf milik Masjid Kauman seluas 10 hektar yang berlokasi di Jl. Gajah Raya, Sambirejo, Kota Semarang.
MAJT dibangun sejak tahun 2001 hingga diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 November 2006. Luas bangunan masjid adalah 7669 m persegi. Tercatat bahwa sejak Juni 2017 masjid ini telah memiliki sebuah stasiun televisi yaitu MAJT-TV yang siarannya bekerja sama dengan TVKU Semarang.
MAJT mengadopsi arsitektur campuran Jawa, Timur Tengah, dan Romawi hasil karya Ir. H. Ahmad Fanani setelah memenangkan sayembara desain MAJT tahun 2001.
Langgam Jawa tampak pada desain limas atap, namun di sini terdapat modifikasi kubah besar khas Timur Tengah berdiameter 20 m di puncak limasan tersebut.
Empat menara setinggi 62 m dibangun di tiap penjurunya. Menara lain yang jauh lebih besar berjuluk Asmaul Husna setinggi 99 m dibangun terpisah dari bangunan masjid. Studio Radio Dakwah Islam (Dais) berkantor di bagian dasar menara ini. Sedangkan di lantai 2 dan 3 terdapat Museum Kebudayaan Islam. Naik ke lantai 18 berada Kafe Muslim yang dapat berputar keliling 360 derajat, sedangkan lantai 19 merupakan menara pandang dengan 5 buah teropong yang dapat digunakan untuk melihat pemandangan Kota Semarang, serta untuk melihat rukyatul hilal.

Sementara pengaruh gaya Romawi tampak dari struktur 25 pilar bergaya koloseum di pelataran masjid, yang sekaligus juga menyimbolkan jumlah 25 Nabi dan Rasul yang disebutkan di dalam Qur'an. Pada bagian gerbang yang melengkung ini tertulis dua kalimat syahadat, sementara di bidang datarnya berukirkan huruf Arab-Melayu 'sucining guno gapuraning Gusti' seperti tampak pada 2 foto di atas (sumber : situs Kemenag (foto atas kiri); www.majestad.wordpress.com (foto atas kanan)).
MAJT dilengkapi fasilitas wisma berkapasitas 23 kamar berbagai kelas untuk para peziarah yang membutuhkan tempat bermalam. MAJT pun memiliki koleksi Al Qur'an raksana berukuran 145x95 cm buah karya Drs. Khyatuddin dari Pondok Pesantren Al-Asyariyyah, Wonosobo. Selain itu masih terdapat bedug raksasa sepanjang 310 cm dan diameter 220 cm hasil karya para santri Pondok Pesantren Alfalah, Banyumas yang merupakan replika bedug Pendowo Purworejo. Terakhir, tongkat khatib MAJT tercatat sebagai hadiah dari Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah.

Icon MAJT tak bisa disangkal adalah 6 payung raksasa di area pelataran masjid yang dapat mengembang otomatis seperti di Masjid Nabawi, Madinah. Tinggi setiap payung elektrik ini adalah 20 m, dengan diameter 14 m. Payung ini dibuka setiap shalat Jumat, Idul Fitri, dan Idul Adha jika angin tak melebihi kecepatan 200 knot (foto atas kiri, sumber : www.3.bp.blogspot.com).
Bagian dalam MAJT terkesan adem dengan langit-langit atapnya yang tinggi, sehingga betah rasanya beribadah berlama-lama di dalamnya (foto kanan atas, sumber : www.beautifulmosque.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar